KITA kembali dibuat menggigit bibir dan mengelus dada mendengar berita kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kasus terbaru yang menghebohkan publik hari-hari ini menimpa seorang mahasiswi Universitas Sriwijaya Palembang. Korban yang namanya sempat dicoret dari daftar yudisium tersebut melaporkan dosen pembimbingnya ke Polda Sumatera Selatan setelah mendapatkan pelecehan berbentuk verbal dan fisik dengan cara dipegang, dicium, dan dipeluk, (Kompas.com, 04/12/21).
Tindakan tidak pantas oknum dosen tersebut bukanlah satu-satunya kasus. Data Komnas Perempuan mencatat, sebanyak 26 kasus kekerasan seksual terjadi di kampus sepanjang tahun 2015 hingga 2021. Pelaku didominasi oleh dosen dengan menjadikan mahasiswi sebagai objek pelecehan. Adapun bentuknya berbagai macam, seperti menggoda lewat pesan virtual, meminta gambar atau video tidak senonoh, menyentuh anggota tubuh, bahkan hingga pemerkosaan.
Dalam beberapa hari terakhir ini, kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi memang menjadi isu problematik yang ramai diperdebatkan publik, terutama di media sosial. Menurut Aktivis Gender dan Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, terungkapnya kasus kekerasan seksual didukung oleh terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Peratutan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus itu dinilai menjadi payung hukum yang menguatkan korban untuk berani melaporkan kasus yang dialaminya.
Meskipun demikian, tidak semua kasus pelecehan seksual di kampus berlanjut sampai ke ranah hukum. Berdasarkan penelitian Kemendikbudristek pada 2020 lalu, terdapat temuan bahwa 77 persen responden dosen yang mengaku ada kasus kekerasan seksual di kampusnya, sebanyak 63 persen di antaranya tidak dilaporkan. Hal ini lantaran kampus tidak ingin nama baiknya tercemar dan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Sementara korban yang tidak berani melapor, disebabkan adanya intimidasi dari pelaku yang akan menghambat proses akademik.
Terlepas dari pro dan kontra tentang Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang sampai saat ini masih menjadi polemik, kekerasan seksual di kampus sangatlah miris dan menjadi ironi tersendiri. Fakta ini tentu membuat sebagian masyarakat terkejut, di mana kampus yang menjadi wadah menimba ilmu pengetahuan serta berperan mencetak manusia bermartabat, dinodai oknum tidak bertanggung jawab. Selain mengkhianati perannya, oknum dosen yang menjadi cerminan justru merendahkan derajat orang lain dengan melakukan pelecehan seksual.
Kampus yang menjadi tempat berkumpulnya para insan akademis yang memiliki kualitas intelektual, tidak dapat disangka di dalamnya tersembunyi predator seksual yang perbuatannya tidak sesuai dengan norma masyarakat. Lalu pertanyaannya, apakah tindak kekerasan seksual di kampus, baik yang sudah terungkap maupun belum, sudah mencerminkan pelaku sebagai kaum terpelajar, maupun lembaga pendidikan yang menjadi harapan masyarakat? Namun jika realita yang terjadi sebaliknya, mungkinkah kampus dapat mencetak manusia berkarakter dan berbudi pekeri luhur?
Relasi Kuasa Dosen-Mahasiswa
Dari 26 laporan kasus kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi, Komnas Perempuan menyatakan bahwa sebanyak 17 di antaranya dilakukan oleh dosen. Tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral masyarakat tersebut disebabkan karena faktor relasi kuasa antara dosen dan mahasiswi yang disatukan dalam suatu kontrak. Dalam hierarkinya, dosen sebagai pemilik otoritas dan penanggung jawab proses akademik dapat melakukan kontrol terhadap mahasiswa. Sehingga memanfaatkan relasi tersebut untuk melancarkan aksi mesumnya.
Dalam beberapa kasus yang melibatkan dosen sebagai pelaku, tanggung jawab profesi seringkali dijadikan dalih. Sang predator seksual menggunakan modus akademik seperti halnya bimbingan skripsi dan perbaikan nilai untuk menghegemoni korban sesuai kehendaknya. Tidak hanya itu, dosen juga megancam nilai dan menghambat proses akademik ketika ada mahasiswa yang berani melaporkannya.
Sementara itu di sisi lain mahasiswa tentu membutuhkan peran dosen guna melancarkan proses akademik yang dijalaninya. Tentunya ia tidak dapat menghindari relasi tersebut. Sehingga ketika melaporkan aksi mesum dosen, justru akan menerima konsekuensinya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan korban lebih memilih berdiam diri daripada melapor. Selain tidak mau namanya tercemar, juga tidak ingin nilai maupun proses akademiknya terhambat.
Relasi kuasa inilah yang membuat dosen dapat mengontrol mahasiswa serta bertindak sesukanya tanpa ada perasaan bersalah. Dengan posisinya yang lebih dominan, mahasiswa akan cenderung mengikuti perintahnya. Dalam beberapa kasus, dosen seringkali mengajak mahasiswa bertemu di luar kampus dengan modus bimbingan, yang nanti ujungnya pelecehan seksual. Hal tersebut mengindikasikan bahwa oknum dosen yang terlibat dalam kasus ini salah menggunakan jabatannya. Dengan kasus ini tentu dapat membuat lembaga pendidikan mengalami kesenjangan.
Implementasi Ilmu Pengetahuan
Melihat maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, seolah membuka tabir bahwa lembaga pendidikan tidak sepenuhnya sesuai dengan paradigma masyarakat. Citra positif dengan menjadi tempat berkumpulnya para intelektual yang haus akan ilmu pengetahuan, bukan jaminan semua di dalamnya bersih dan suci. Pasalnya tidak sedikit kaum terpelajar dengan tingkat intelektual tinggi, ternyata sikap dan karakter yang ditunjukkan justru malah berlainan.
Terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual mengindikasikan bahwa kampus sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang patut diwaspadai. Bahkan pelakunya yang paling banyak berasal dari oknum dosen, menunjukkan bahwa kampus bukan ruang aman. Profesor Studi Islam dan Gender UIN Sunan Gunung Jati, Nina Nurmila mengingatkan seluruh civitas akademik untuk selalu berhati-hati. “Tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman dan mendapatkan perlindungan justru paling rawan terjadi,” katanya, (Tempo.co, 17/11/21).
Realita yang terjadi mengisyaratkan bahwa pembelajaran di dalam kampus masih sebatas ranah teoritis semata. Bangunan megah dengan buku-buku yang menghimpun ribuan teori serta menjamurnya diskursus di dalam kelas hanya dapat menjadikan orang unggul secara intelektual. Akan tetapi tidak sampai menyentuh aspek spiritual yang membentuk karakter dan moral guna diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Padahal jika mengacu pada tujuan utama pendidikan yaitu mampu mencetak manusia berwawasan luas serta memiliki karakter berkualitas.
Maka dari itu, materi berupa teori yang diajarkan juga harus diimbangi praktik dalam kehidupan. Pasalnya teori (ilmu) memiliki keterikatan yang tidak dapat dipisahkan dari praktik (amal). Sebagaimana pepatah kuno Arab yang dikutip Syaikh Az-Zanurji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.” Maksudnya ialah orang yang menguasai banyak teori tapi tidak menggunakannya secara praksis, tidaklah bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Begitupula dengan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang mulai terungkap. Tindakan oknum dosen yang berbuat kekerasan seksual menyiratkan bahwa kedalaman ilmu pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai indikator kualitas karakter dan budi pekerti. Di sekitar kita sendiri banyak orang-orang pandai, sekolah tinggi-tinggi, meraih banyak prestasi dan gelar akademik, tetapi justru sering melakukan kejahatan.
Dalam hal ini ilmu pengetahuan berupa teori yang diajarkan di dalam kelas perkuliahan akan mendapatkan buahnya ketika mampu dihayati dan diimplementasikan dalam kehidupan. Jika tidak, maka sikap yang ditunjukkan masih jauh merepresentasikan seorang insan akademis. Hal ini pulalah yang telah menghambat upaya pemerintah maupun elemen masyarakat untuk mewujudkan pendidikan karakter yang selalu digencarkan. Pasalnya penanaman karakter akan terwujud berdasarkan kebiasaan praksis yang ditunjang dengan bekal pengetahuan.
Dengan ini, maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi isu yang membutuhkan perhatian serius. Peran kampus sebagai pencetak manusia berilmu dan beradab tentu akan sulit terwujud jika di dalamnya masih banyak ditemukan predator seksual. Di sinilah pentingnya merawat kesadaran bahwa ilmu saling terikat dan terkait dengan implementasi agar tidak berhenti dalam tataran teori saja. Lembaga pendidikan dapat berhasil ketika di dalamnya terjadi transfer pengetahuan, penanaman nilai-nilai, serta pembentukan karakter yang mampu diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Mahfud Al-Buchori
0 Comments