Ticker

6/recent/ticker-posts

[Cerpen] Tangan Kanan

“Bagaimana hasil pemantauanmu di desa-desa itu? Apa bantuan atas nama pemerintah kabupaten untuk para petani telah sampai dengan baik?” tanya Alim kepada Samir, salah seorang asistennya, sekitar lima bulan yang lalu. Sebagai seorang bupati, ia memang sangat peduli kepada para petani, sebab banyak warganya yang bekerja sebagai petani.

Samir lantas mengangguk. “Iya, Pak. Berdasarkan penelusuranku bersama beberapa anggota, bantuan pertanian sudah diterima oleh para petani sesuai dengan petunjuk Bapak, dan mereka mengaku sangat terbantu.”

Alim pun merasa senang dan lega.

Tetapi belakangan, setelah Samir mengundurkan diri sebagai asistennya, Alim kerap bertanya-tanya perihal efektivitas pelaksanaan programnya di lapangan. Ia khawatir kalau misinya untuk menyejahterakan masyarakat kecil, khususnya para petani, tidak terealisasi dengan baik. Apalagi, selain laporan Samir, ia memang senantiasa meragukan laporan anggotanya yang lain.

Masa-masa sekarang, Alim memang sering merenungi arti kekuasaannya. Ia telah memimpin selama empat tahun lebih, tetapi ia begitu khawatir kalau-kalau masyarakat menilai bahwa ia tidak menunaikan tanggung jawabnya dengan baik. Apalagi, ia masih sering menemukan keluhan-keluhan warganya di media sosial perihal kesulitan hidup mereka, terutama para petani.

Akhirnya, setelah perenungan yang lama, hari ini, Alim memutuskan untuk mengunjungi sebuah desa yang berada di wilayah pelosok. Ia berangkat dengan mengendarai sepeda motornya seorang diri. Ia hendak mengecek dampak kepemimpinannya secara langsung. Ia tak ingin lagi sekadar mendengar dan membaca laporan yang malah membuatnya penasaran.

Demi tujuan itu, Alim sengaja menyasar satu desa yang terpencil. Ia memilih desa itu sebagai titik pengamatannya untuk membaca keadaan desa yang lainnya. Ia ingin memahami keadaan masyarakatnya dengan sejelas-jelasnya, berdasarkan keterangan masyarakat yang sejujur-jujurnya, tanpa keengganan atau kesungkanan atas perkara jabatannya.

Karena itulah, ia memutuskan untuk berangkat ke desa sasarannya tanpa mengenakan embel-embel kekuasaannya. Ia menyamarkan dirinya dengan mengenakan rambut palsu, kacamata, dan pakaian biasa. Ia akan mengaku sebagai seorang petugas survei yang hendak meneliti kondisi masyarakat untuk program bantuan pemerintah. Dengan begitu, ia yakin, warga desa akan menuturkan keluh kesahnya secara gamblang.

Keinginan Alim untuk mengecek keadaan masyarakatnya secara langsung, memang sangat berdasar. Ia ingin memahami persoalan warganya, kemudian segera mengambil langkah penyelesaian. Ia tak ingin warganya kecewa atas kepemimpinannya. Apalagi, ia ingin kembali mencalonkan diri menjadi bupati untuk periode kedua. 

Demi mengetahui kondisi riil warganya, Alim menaksir bahwa langkah penyamaran diri adalah cara yang jitu. Pasalnya, selama menjabat, ia senantiasa mengunjungi warganya dengan fasilitas mewah dan pengawalan yang ketat, sehingga komunikasinya terasa kurang intim dengan para warga, sebab mereka tanpak begitu menyeganinya. 

Belum lagi, ia mengerti juga perihal kultur birokrasi masa kini yang sarat aksi penjilatan. Para bawahan suka berbohong demi menyenangkan para atasan. Karena itulah, ia khawatir kalau selama ini, para anggotanya ternyata menyampaikan laporan yang tidak benar kepadanya. Ia takut kalau para pegawainya itu telah menipunya.

Tetapi untuk sementara waktu, Alim tak mau berpikir tidak-tidak. Ia menangguhkan saja keyakinan dan kecurigaannya.

Dan akhirnya, di tengah perjalanan, Alim kembali menyaksikan suasana perkampungan yang sudah sangat lama tak ia resapi. Seketika pula, ia kembali mengenang kehidupan masa lalunya. Bagaimanapun, meski kini ia adalah seorang pejabat yang tinggal di kota, tetapi dahulu, ia hanyalah seorang anak kampung yang lekat dengan kehidupan perdesaan.

Sebenarnya, perkenalan Alim pada kehidupan kota, baru terjadi saat ia duduk di bangku kuliah. Sejak saat itu, ia meninggalkan kampungnya dan tinggal di ibu kota provinsi untuk menuntut ilmu dan memperluas pergaulannya. Di masa itu pula, ia mulai belajar menjadi pemimpin dengan menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan, hingga ia berhasil menjadi presiden BEM di kampusnya.

Atas bekal pengalaman sebagai organisatoris kampus, Alim akhirnya mudah mendapatkan panggung dalam gelanggang perpolitikan daerahnya. Di usia yang masih muda, ia sudah menjadi pengurus sebuah partai politik. Selama menjadi kader, ia pun senantiasa tampil atas kecakapannya mengolah kata, hingga ia tersohor sebagai politikus. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil mendapatkan dukungan partai dan sokongan modal untuk menyukseskan dirinya menjadi bupati.

Tetapi menjadi seorang penguasa, tak membuat ia menjadi lupa diri. Karena itu, ia pun mendudukkan kawan-kawannya dahulu pada pos-pos jabatan yang memungkinkan. Salah satunya adalah Samir, juniornya, yang tiada lain adalah sekretarisnya saat ia menjabat presiden BEM. Ia menilai Samir adalah sosok yang berdedikasi tinggi dan pantas menjadi tangan kanannya.

Namun akhirnya, dua bulan yang lalu, Samir memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai asistennya. Samir telah merintis karir politiknya sendiri dengan menjadi pengurus sebuah partai politik yang berbeda dengan partainya. Karena itu, Samir merasa khawatir akan mengalami konflik kepentingan jika ia tetap bertahan di dalam pemerintahannya. 

Kenyataan itu, tentu membuat Alim berat hati, sebab Samir adalah seorang bawahan yang sangat ia andalkan, terutama untuk menyukseskan programnya di tengah-tengah masyarakat desa. Samir adalah orang cerdas yang punya andil besar dalam proses pembangunan desa di wilayahnya. Tetapi ia memang tak bisa apa-apa, sebab pilihan dan jalan politik adalah hak setiap orang.

Hingga akhirnya, sekian waktu berselang, Alim pun sampai di desa sasarannya. Seketika pula, ia menyaksikan bahwa keadaan desa tersebut, jauh lebih buruk dari keadaan desa-desa yang ia lalui sebelumnya. Tanaman pertanian warga tampak tidak subur di tengah sarana dan prasarana desa yang masih seadanya, termasuk jalan yang masih berupa pengerasan kerikil.

Tanpa menunda waktu, dengan sikap percaya diri, Alim pun mencari dan menanyakan alamat ketua kelompok tani di desa tersebut. Tak lama kemudian, ia pun bertemu dengan seorang lelaki sasarannya bernama Siran.

“Bagaimana menurut Bapak tentang program pemerintah kabupaten dalam membantu kehidupan para petani di desa ini?” tanya Alim kemudian, bak petugas survei profesional yang sedang mewawancari seorang responden.

Siran pun berdecak. “Kalau aku sih, sangat kecewa, Pak. Aku yakin, semua warga di sini juga kecewa.”

Sontak, Alim terkejut. “Kenapa bisa begitu, Pak?”

Siran lantas mendengkus. “Bagaimana tidak, Pak, bantuan yang dahulu dijanji-janjikan oleh Bapak Bupati semasa kampanye, tak sedikit pun sampai ke masyarakat sini. Tak ada bantuan alat pertanian, racun, ataupun pupuk.” 

Seketika pula, Alim terheran. “Apa tidak pernah ada utusan atau pegawai pemerintah kabupaten yang datang ke sini untuk urusan program bantuan pertanian, Pak?”

Siran lekas menggeleng tegas. “Tidak pernah ada.” Ia kemudian mendengkus sinis. “Aku kira, sih, Bapak Bupati pilih kasih, sebab aku tahu juga kalau para petani di beberapa desa yang lain telah mendapat bantuan secara khusus.”

Alim pun terenyuh.

“Aku yakin, kalau Bapak Bupati maju lagi di pilkada mendatang, ia akan kesulitan untuk menang, karena ia tak akan mendapatkan dukungan penuh dari para petani seperti di pilkada yang lalu. Bahkan kukira, di desa ini, ia akan kesulitan mendapatkan suara karena masyarakat merasa sudah ditipu dengan janji-janji politiknya,” taksir Siran.

Alim lantas menelan ludah di tenggorokannya. Ia kebingungan memberi respons. Ia sungguh tak habis pikir atas kesaksian yang ia dengar.

Sepanjang percakapan selanjutnya, Alim pun makin mengetahui bahwa laporan-laporan pembangunan desa yang dahulu ia dapatkan dari Samir, khususnya soal bantuan pertanian, sangat jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.

Beberapa waktu berselang, Alim kemudian pamit dengan perasaan kacau. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Samir tega menipunya dengan jilatan-jilatan manis. Ia pun jadi bertanya-tanya perihal motof Samir melakukan pengkhianatan terhadapnya.

Kini, Alim sungguh cemas kalau-kalau di pilkada mendatang, ia benar-benar mengalami kekalahan, hingga ia akan dikenang sebagai bupati satu periode yang gagal dalam pemerintahannya.

Akhirnya, demi memvalidasi pengetahuan barunya, Alim kemudian menuju ke desa yang lain untuk menggali informasi perbandingan perihal realisasi program pemerintahannya. Tetapi tiba-tiba, di tengah perjalanan, di sebuah persimpangan jalan antardesa, perhatiannya tertuju pada sebuah spanduk yang terbentang lebar.

Seketika pula, Alim menatap kalut pada wajah seorang politikus muda, pada wajah Samir, yang dihiasi dengan kata-kata bernada kampanye: "Putra Daerah Siap Membangun Daerah!; Petani Harus Berdaya!"

Penulis: Ramli Lahaping, kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping)

Reactions

Post a Comment

0 Comments