Ticker

6/recent/ticker-posts

Puisi Mantel Hujan Dua Kota Karya Afrizal Malna



MANTEL HUJAN DUA KOTA
Afrizal Malna

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan-bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya, rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta api masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji-janji. Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda 6 jam pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung sebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.
Reactions

Post a Comment

0 Comments