Ticker

6/recent/ticker-posts

Puisi Seminar Puisi di Selat Sunda Karya Afrizal Malna



SEMINAR PUISI DI SELAT SUNDA
Oleh: Afrizal Malna

Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama. Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu, atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata yang menggerutu.

Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi, di pangkuan seorang perempuan.

“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian seorang ibu.”

Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang menyimpan kartu pos patung liberty di saku mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard Cohen yang parau: Dance me to the end of love. Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal, sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi 3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”

Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah, Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula membenamkan akal sehat ke dalam keuangan negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri yang masih tertidur di sebuah kereta. 

Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jendela kaca. Sebuah kantor majalah yang kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau mengubah kenangan tentang mantel yang dikenakannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggenggam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.

“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”

Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar. Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti. 

Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya. Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang. Tetapi.

Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri. Langkah yang menciptakan anak-anak tangga daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri. Apakah dia sedang turun – apakah dia sedang naik. Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk tidak mengatakan apapun tentang luka yang tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan. Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan Yudhistira.

Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan seperti dengan suara kertas koran yang diremas. Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.

“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat, dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin yang mengirim garam, menjaga musim hujan di Utara. Di sini.

*) Disalin dari buku kumpulan puisi Museum Penghancur Dokumen karya Afrizal Malna


Reactions

Post a Comment

0 Comments