Aku selalu bertanya-tanya, mengapa kebanyakan orang menyukai senja? Aku sering sekali menjumpai kejadian-kejadian yang tidak bisa lepas dari senja. Misalnya ketika bangun tidur, kakakku sudah berada di depan televisi yang menampilkan film dengan setting senja. Saat berjalan di taman kampus, para mahasiswa jurusan seni rupa tengah serius melukis senja. Waktu membaca buku puisi, di dalamnya aku pun menemukan banyak diksi tentang senja. Selain itu, masih banyak lagi kejadian yang menjadikan senja sebagai objeknya.
Wujud senja seakan-akan tidak pernah ada habisnya. Aku tak mengerti apa yang menarik dari sepotong senja. Ada orang yang beranggapan bahwa senja memiliki daya magis tersendiri. Ada juga yang beranggapan bahwa senja adalah waktu yang paling indah dan romantis. Tapi bagiku, senja adalah waktu untuk tidur. Setelah seharian penuh aku menghabiskan waktu di perpustakaan kampus, senja adalah saat yang nyaman untuk beristirahat. Dan aku biasanya akan bangun jam delapan malam untuk melanjutkan tugas skripsiku.
Suatu hari temanku bercerita tentang senja. Aku mencoba mendengarkannya dengan saksama. Pada waktu itu dia sedang merayakan anniversary dengan pacarnya yang kedua bulan. Awalnya aku heran, biasanya -- setahuku-- anniversary itu dirayakan setahun sekali. Lah, ini malah tiap bulan dirayakan. Mungkin besok-besok bisa jadi tiap minggu. Mungkin bisa jadi juga tiap hari. Atau mungkin malah tiap jam, menit, detik, dan sebagainya.
Entahlah. Aku tak peduli perihal anniversary itu. Tapi ada yang lebih menarik daripada sekadar anniversary yang mungkin bisa jadi besok dirayakan tiap jam sekali. Yaitu senja. Dia terus bercerita, aku terus mendengarkannya. Dan aku pun mulai tertarik dengan ceritanya.
Dia mengatakan bahwa senja adalah waktu yang paling indah. Matahari mengobati rindunya dengan bumi. Cahaya kemerah-merahan hampir redup ditelan kegelapan. Mega-mega merayap di langit. Ombak bergulung sambil menari, menjemput pasir putih yang menunggu di tepi pantai. Sementara burung-burung terbang di atas air, bersenandung merdu, menghibur ikan di dasar laut.
Mendengar cerita temanku, aku mulai terbawa ke dalam kisah yang menjemputku. Aku hadir dalam cerita itu. O, alangakah indahnya. Aku kini sedang berada di pantai luas yang dipenuhi pasir melepuh. Laut tampak asri dibuai angin yang bersiul menelisik rambut. Aku memandang emas yang terhampar di gelapnya langit. Hati terasa tenteram menyaksikannya.
Di sini ada banyak orang, tidak hanya aku. Para nelayan baru pulang dari pulau seberang. Anak-anak bermain pasir, membentuk istana-istanaan. Para orang tua menikmati kelapa muda di sebuah ruko. Beberapa pasang kekasih saling bergandengan tangan di berbagai sudut pantai. Pengunjung baru saling berdatangan, mendekat ke laut. Sungguh ramai sekali tempat ini. Sementara itu, aku melihat temanku duduk mesra dengan kekasihnya di bawah kanopi.
“Senja yang indah. Pantai yang indah. Duduk bersama orang yang indah,” dia tersenyum menggoda kekasihnya.
“Jangan menggodaku begitu. Aku sudah terlalu jatuh ke dalam bara cintamu,” sang perempuan mengelak, meskipun dari raut wajahnya terlihat senang.
“Kenyataannya memang begitu. Apa kau tahu mengapa aku membawamu ke pantai dan menikmati senja?” tanya lelaki itu.
“Karena pantai adalah tempat yang indah untuk melihat senja?” jawab perempuan dengan mata menodong.
“Kau salah.”
“Lha terus apa?”
“Karena senja adalah lambang kesetiaan,” dia berdeham, mengurut lehernya. “Senja adalah bukti bahwa matahari yang mengembara sejauh manapun, pasti akan menepati janji untuk kembali ke peraduannya. Jika hal itu terjadi, maka keindahan akan terpancar dari senja. Dan pantai akan menjadi saksi bahwa tidak akan ada yang berkhianat dan tersakiti. Maka dari itu, aku ingin pantai menjadi saksi kisah cinta kita yang indah seperti senja.” lelaki itu membelai pipi kekasihnya dengan lembut.
Kekasihnya tersipu malu, “Jujur, tidak ada yang bisa membuat hatiku luluh kecuali kau.”
“Aku ingin kisah cinta kita seperti senja. Sejauh manapun kau nanti pergi, ingatlah bahwa aku adalah tempatmu untuk kembali,” lelaki tersenyum memandang lurus ke arah matahari yang sebentar lagi lenyap ditelan bumi.
Pasangan kekasih itu saling membisikkan sesuatu. Aku tidak dapat mendengarnya. Kemudian mereka beranjak dari kanopi ke tepi laut. Semua orang yang ada di pantai juga mendekati laut. Aku pun sama, berjalan sendirian menyisir tumpukan pasir yang berdesir.
Semua berwarna jingga. Awan yang bergelantungan di langit jingga. Ombak yang bergulir di laut jingga. Derai pasir di pantai jingga. Ruko-ruko di pinggir pantai jingga. Kanopi yang mengembang jingga. Dan tubuh kami pun jingga.
Semua kaki mendekat ke pantai agar bisa menyaksikan keindahan cakrawala dengan jelas. Semua mata tertuju ke arah matahari yang kembali ke pelabuhannya. Semua orang berdiri di pantai menanti senja yang lekas pudar tergantikan oleh cahaya rembulan. Aku berdiri sendiri di antara banyaknya kerumunan pasangan kekasih.
Akhirnya matahari yang mengembara lama kini telah kembali ke peraduannya. Senja telah menepati janjinya. Tidak ada yang berkhianat. Tidak ada yang tersakiti. Dan pantai menjadi saksi bahwa keindahan senja merupakan kisah cinta dan kesetiaan yang penuh dengan arti.
Aku melihat temanku dengan kekasihnya bergandengan tangan. Mereka semua tersenyum mesra, saling berpandangan. Aku ingin menghampirinya. Kalau pantai menjadi saksi kesetiaan yang dipancarkan senja, aku akan menjadi saksi indahnya cinta mereka.
Namun senja tiba-tiba lenyap begitu saja. Awan yang dicat dengan warna kemerah-merahan memudar. Tidak ada lagi debur ombak menyapa. Pasir hilang diterpa angin yang berkelana. Cerita yang kudengarkan dari temanku sudah selesai. Kisah tentang senja di pantai pun tamat.
Sekarang aku sudah mengerti mengapa orang-orang menyukai senja. Aku tahu apa yang menarik dari senja. Senja memang mempunyai daya magis tersendiri. Senja adalah simbol keindahan yang terpancar dari cinta dan kesetiaan manusia yang pada hakikatnya memang diciptakan untuk saling mencintai. Senja menjadi saksi bagi cerita-cerita cinta manusia.
Aku menghela napas pelan. Di atas loteng rumahku, aku dan temanku menjumpai senja yang membentang luas mengukir langit. Senja memang waktu yang sangat indah. Aku pun berjanji, tidak akan tidur lagi saat senja tiba.
(A.M)
0 Comments