Ticker

6/recent/ticker-posts

Fragmen Kematian

Fragmen Kematian
Ilustrasi: Pikiran Rakyat


DI TENGAH merebaknya wabah, menjelang sore, seorang lelaki umurnya sekitar kepala lima ditemukan sudah tak bernyawa di rumahnya. Sekelompok orang berpakaian hazmat datang bersama beberapa aparat. Belum diketahui  musabab lelaki itu meninggal di rumahnya. Namun dari orang berpakaian hazmat yang menjemput mayat lelaki itu, besar anggapan dia meninggal karena tertular wabah. Apa mungkin demikian? Sedangkan, sejauh ini lelaki itu jarang terlihat keluar  rumah. Mengapa ia tak melapor?

Tetangganya berkerumun di luar.  Polisi yang ada pun ditugaskan untuk mengatur orang-orang sekitar. Tak ada tugas lain, hanya itu yang sanggup dilakukan polisi saat evakuasi mayat. Polisi-polisi itu jumlahnya tiga orang. Satu orang mengawasi pemindahan mayat ke mobil jenazah. Dua lainnya mengatur warga supaya tak berbuah kerumunan.

“Tertular, Pak?” Tanya Bu Asmuti kepada Pak RT.

“Belum tahu, Bu. Pak Dasim ini jarang sekali keluar,” jawab Pak RT sembari menurunkan masker.

“Iya, Pak. Pak Dasim memang jarang keluar. Tapi kondisi sekarang enggak menutup kemungkinan orang yang di rumah pun bisa tertular,” Nita menimpali.

“Ah, jangan sembarangan bicara kamu, Mbak. Jika di rumah saja bisa tertular, anjuran nggak keluar rumah sia-sia dong,” jawab Pak RT.

“Bukan itu maksud istri saya, Pak,” sergah Awut, suami Nita. “Mungkin ada orang yang masuk ke rumah Pak Dasim, dan mungkin juga orang itu membawa wabah,” lanjutnya.

“Tolong jaga jarak,” tiba-tiba polisi melerai mereka.

Mayat Pak Dasim masuk kantong plastik. Ia dibawa empat orang berpakaian hazmat. Empat orang itu bergegas membawa masuk mayat ke belakang mobil jenazah. Pintu belakang mobil dibuka,  mayat Pak Dasim dimasukkan. Dua orang berpakaian hazmat ikut masuk, sisanya mengambil alih kemudi. Sirine dinyalakan, mobil jenazah pun melaju.  Polisi-polisi itu menyuruh warga pulang. Sesampainya di rumah,  Awut membicarakan perihal kematian dadakan Pak Dasim kepada istrinya, Nita.
 
“Dik, menurutmu siapa yang datang ke rumah Pak Dasim?" tanya Awut yang sudah duduk di depan televisi tabung. Istriya tengah menyiapkan secangkir teh yang kemudian menghantarkannya ke Awut yang tengah menekan-nekan televisi tanpa remot itu.

“Saudaranya dari Bekasi mungkin Mas, atau mantan istrinya?” jawab Nita.

“Bukannya enggak boleh mudik? Kalau istrinya, Mas enggak percaya. Bekas istrinya itu sudah lama enggak mencintainya lagi.

“Jangan-jangan saudaranya itu lolos? Berhasil mengelabui petugas, Mas,” ucap Nita lagi.

“Mana mungkin petugas penjagaan sebodoh itu. Orang-orang yang pulang dari luar kota pasti dicegat dulu. Diperiksa dulu di terminal, stasiun, pelabuhan, atau biasanya dikarantina di tempat khusus, Dik,” jawab Awut.

“Menurut Nita, mereka bisa lolos pemeriksaan, Mas. Apalagi kalau pakai uang,” ucap Nita lagi, seolah yakin jawabannya tak meleset.

“Kamu enggak boleh berburuk sangka begitu, Dik,” kata Awut sembari menyeruput teh.

“Lantas penyebab Pak Dasim meninggal apa dong?”

“Entahlah, Dik. Mas mau menghabiskan teh yang sama manisnya denganmu ini dulu.”

Sambil menikmati teh buatan istrinya, Awut menonton televisi tabungnya itu. Nyaris seluruh saluran menayangkan informasi soal wabah. Terdengar suara reporter membaca jumlah pasien meninggal karena wabah. Barangkali di antara mereka ada nama Pak Dasim. Namun bisa juga tidak, sebab Pak Dasim meninggal sebelum sempat menjadi pasien. Angka-angka itu ibarat fragmen-fragmen kematian, siapa saja bisa masuk ke dalamnya. Kematian mengintai siapa pun, tiap saat, tiap hari, tiap jam, tiap menit, bahkan per detik.

***


“Assalamualaikum... Pak! Pak RT! Pak!” teriak Zul menggedor-gedor pintu rumah Pak RT.

“Pagi-pagi udah bikin gaduh, ada apa, sih?” Pak RT yang hendak menyeruput kopi batal, dan tergopoh-gopoh melangkah membuka pintu.

“Awut... Pak. Awut,” ucap Zul yang berkeringat dingin dan badannya gemetar menunjuk rumah Awut.

“Awut kenapa?” tanya Pak RT dengan wajah ganar.

“Awut dan istrinya meninggal, Pak!”

“Hah? Kenapa enggak panggil ambulan?” tanya Pak RT terkaget-kaget.

“Takut saya Pak. Makanya saya lapor Pak RT,” jawab Zul singkat. 

“Biar saya telepon ambulan dulu.”

Setengah jam kemudian mobil ambulan tiba. Warga sudah bekerumun lagi. Di belakang mobil ambulan, sebuah mobil polisi mengikuti. Empat orang berpakaian hazmat turun dari ambulan. Empat polisi juga turun dari mobil dinasnya. Hampir mirip seperti kemarin. Ada orang yang meninggal mendadak, pihak rumah sakit yang mengirim petugas selalu dilengkapi pakaian hazmat. Berjaga-jaga, seolah mengisyaratkan siapa saja yang meninggal seketika, wabahlah penyebabnya.

Empat orang berpakaian hazmat itu masuk ke dalam rumah Awut. Mereka menemukan Awut tergeletak dengan mulutnya berbusa, ingusnya masih memenuhi mulut dan hidung. Tangan Awut menggenggam pisau dapur. Sementara Nita tergeletak mengenaskan di samping Awut. Mata dan mulutnya masih terbuka, lidahnya menjulur, ada guratan di lehernya. Guratan itu lumayan dalam, darah mengucur dari leher Nita. Polisi menduga kejadian ini murni akibat percekcokan dalam rumah tangga.

Jauh di luar sana, berita kekerasan rumah tangga menguar. Di koran-koran, televisi, dan internet semua memberitakan rumah tangga. Masa-masa sulit membuat orang semakin nekad, semakin berani, dan tak terkontrol berbuat jahat. Bahkan dalam rumah sendiri. Manusia berubah harimau. Orang baik jadi berkelakuan seperti preman yang belum insyaf.


***

Selepas Magrib, Zul mondar-mondir di emperan rumahnya. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang sedikit beruban itu. Istrinya tengah menyiapkan makan malam. Zul kebingungan bagai orang yang dicari polisi. Istrinya pun keluar bermaksud menenangkannya.

“Mas kenapa? Sepertinya ada yang dipikirkan,” tanya sang istri pelan.

“Gawat, Dik,” jawab Zul berhenti mondar-mandir dan berdiri di hadapan istrinya

“Gawat bagaimana, Mas?” tanya sang istri, kali ini sedikit was-was.

“Apakah kamu enggak merasa aneh dengan kematian Awut dan istrinya?” tanya Zul, dua tangannya memegangi pundak sang istri.

“Polisi bilang Awut dan Nita bertengkar.”

“Itu baru dugaan, Dik. Selama ini bukannya mereka akur-akur saja?”

“Yang kita tahu memang begitu. Tapi mungkin benar mereka bertengkar. Apalagi akhir-akhir ini Awut enggak kerja, seorang suami yang enggak berpenghasilan pasti menyebabkan cekcok dalam rumah tangga,” sang istri mencoba menjelaskan.

“Enggak... enggak... kemarin Awut membela istrinya loh,” ucap Zul meyakinkan.

“Belum jelas apa yang kamu maksud, Mas.”

“Oh, Mas ingat, Dik. Semalam Mas melihat gerak-gerik orang mencurigakan saat mau mengambil jemuran yang lupa tak bawa masuk. Kamu sudah tidur waktu itu, lumayan larut soalnya.”

“Siapa orang itu, Mas?” tanya sang istri.

“Mas enggak tahu. Yang jelas perawakannya macam preman. Badannya kekar, lengannya bertato. Jumlahnya dua orang.”

“Kok enggak melapor ke Pak RT malam itu juga?” tanya istrinya penasaran.

“Mas takut nanti malah kita yang kena imbasnya, Dik.”

“Lebih baik sekarang kamu ke Pak RT. Kasih tahu, kampung kita sedang gawat, enggak aman lagi.”

“Nanti setelah makan malam, Mas ke rumah Pak RT.”

Usai makan malam, Zul bergegas ke rumah Pak RT. Ia pamit dengan istrinya, tepat pukul sembilan malam lewat, Zul berjalan ke rumah Pak RT. Sesampainya di rumah Pak RT, Zul mendapati pintu rumahnya terbuka. Bak tersambar petir di siang bolong, Zul memergoki seorang lelaki kekar keluar dari dalam rumah. Lelaki itu menoleh ke arah Zul, dan segera pergi. Zul baru tersadar, lelaki itu preman yang tempo hari dilihatnya di sekitar rumah Awut. Celaka!

Sejurus kemudian Zul masuk ke rumah Pak RT. Bagai menjumpai pelangi di dasar laut, ia tersentak menyaksikan tubuh Pak RT dan istrinya terkapar di ruang tamu. Pasti preman itu pelakunya. Zul segera keluar berteriak minta tolong. “Tolong! Tolong!” Tak butuh waktu lama, warga membentuk kerumunan. Malam itu juga, warga harus menerima pemimpinnya tewas dibunuh preman.

Zul dan beberapa warga mengejar preman tadi. Ia lari hingga keluar kampung, gesit sekali. Satu Inova terparkir di tepi jalan. Beberapa warga yang ikut mengejar meneriaki si preman, begitu pula Zul. Tetapi apa daya, preman itu keburu masuk ke dalam Inova yang langsung melesat. Zul berdiri lesu memandangi Inova melaju bertambah jauh. “Door!”  Suara peluru terdengar baru saja ditarik dari pelatupnya. Zul merasakan ada sesuatu masuk melalui punggungnya. Benda tajam nan panas berhasil menembus punggungnya. Zul terkapar di tepian jalan. Entah siapa yang menembaknya. 

Pekalongan Utara, 5 Mei 2020

Penulis: Muhammad Arsyad 
Blogger, tinggal di pesisir Kota Pekalongan
Reactions

Post a Comment

0 Comments