|
Ilustrasi mengelola amarah di media sosial. (Foto: Pixabay) |
Belakangan ini, kita sering menyaksikan betapa media sosial menjadi arena tercetusnya amarah dan permusuhan. Unggahan yang provokatif, komentar yang menyakitkan, bahkan peruncungan (bullying) virtual seolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap digital kita.
Dalam situasi seperti ini, pesan Al-Quran tentang mengendalikan emosi menjadi semakin relevan.
Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik." (QS. Fussilat: 34).
Ayat ini menggarisbawahi prinsip fundamental: membalas keburukan dengan kebaikan.
Namun, menerapkan prinsip ini di ruang digital yang penuh gejolak tentu tidak mudah. Provokasi, fitnah, bahkan perundungan virtual kadang membuat kita terpancing emosi dan ingin membalas. Di sinilah pentingnya memegang teguh ajaran Al-Quran tentang pengendalian diri.
Al-Quran juga menekankan pentingnya bertutur kata yang baik, bahkan dalam situasi konflik. Sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
"Dan janganlah kamu memalingkan pipimu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Luqman [31]: 18).
Ayat ini mengingatkan kita untuk menjaga komunikasi yang santun dan tulus demi meredam ketegangan, bukan memperburuknya.
Menurut Fakhruddin Ar-Razi (juz 25/hlm. 122), ayat ini memberikan dua pesan penting terkait komunikasi dan sikap seseorang:
1. Menghindari Kesombongan terhadap Orang Lain (Takabbur)
Larangan ولا تصعر خدك للناس adalah peringatan untuk tidak menunjukkan sikap angkuh atau merendahkan orang lain. Dalam konteks media sosial, ini berarti kita tidak boleh merendahkan, mengejek, atau membalas komentar dengan hinaan meskipun kita merasa benar. Kesombongan semacam ini hanya akan memperburuk hubungan dan memperkeruh suasana.
2. Menghindari Kebanggaan Diri (Tabakhthur)
Larangan ولا تمش في الأرض مرحًا mengacu pada kebanggaan yang berlebihan terhadap diri sendiri. Di media sosial, hal ini bisa berupa upaya pamer kebenaran atau keunggulan diri tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain. Kebanggaan semacam ini sering kali berujung pada konflik karena memicu rasa iri atau kebencian.
Ar-Razi menekankan bahwa sikap sombong kepada orang lain sering kali berawal dari anggapan bahwa diri kita lebih sempurna atau lebih benar. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengelola perasaan superioritas ini, terlebih di ruang digital yang penuh jebakan ego. Selain itu, Islam juga mengajarkan tentang sabar dan memaafkan.
"Dan sungguh barang siapa sabar dan memaafkan, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (Asy-Syura: 43).
Di tengah serangan verbal yang terjadi di jagat maya, memilih untuk memaafkan dan tidak membalas dendam adalah cerminan kekuatan spiritual yang luar biasa.
Bahkan, ketika disakiti atau diprovokasi, Al-Quran menyarankan untuk tidak terpancing emosi dan membalas dengan yang lebih baik. Dengan begitu, kita dapat memutus rantai kebencian dan mengubahnya menjadi perdamaian. Sungguh, tindakan bijak seperti ini merupakan panggilan Ilahi yang mulia.
Pada akhirnya, mengelola amarah di media sosial menuntut kita untuk lebih dulu mengendalikan diri dan melakukan introspeksi. Seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran dalam surah An-Nahl: 127-128;
.وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ اِلَّا بِاللّٰهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الَّذِيْنَ. اتَّقَوْا وَّالَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ ۔
“Bersabarlah (Nabi Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan (pertolongan) Allah, janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 127-128).
Dalam hal ini Al-Qurtubi dalam tafsirnya ( juz 1 hlm. 202–203) menguraikan bahwa terdapat empat pelajaran dalam pengendalian diri;
Pertama, Kesabaran
Qurtubi menekankan bahwa sabar dalam ayat ini berarti tidak membalas keburukan dengan keburukan. Rasulullah SAW diperintahkan untuk memaafkan dan tidak melakukan pembalasan yang setara terhadap tindakan buruk yang dilakukan musuh, termasuk ejekan atau perlawanan mereka terhadap dakwah.
Dalam konteks modern seperti media sosial, kesabaran ini dapat diterapkan dengan menahan diri dari provokasi komentar negatif atau serangan personal. Hal ini mencerminkan kemampuan untuk tetap bijaksana dan tidak terpancing emosi.
Kedua, Larangan Bersedih Hati
Frasa janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka" menunjukkan bahwa Allah menghibur Rasulullah SAW agar tidak tenggelam dalam kesedihan atas sikap keras kepala kaum musyrik. Meskipun mereka menolak kebenaran, tugas Rasulullah hanyalah menyampaikan dakwah, bukan memastikan mereka menerima hidayah.
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di media sosial, ini mengajarkan bahwa kita tidak perlu larut dalam kesedihan atau frustrasi akibat respons negatif orang lain. Fokus kita adalah menjalankan kebaikan dengan tulus, tanpa terbebani oleh hasilnya.
Ketiga, Mengatasi Kesesakan Dada (ضيق)
Istilah ḍayq merujuk pada rasa sesak, tekanan emosional, atau kekhawatiran. Qurtubi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diingatkan untuk tidak merasa sempit hati akibat makar dan tipu daya musuh.
Dalam dunia digital, tekanan semacam ini bisa berupa stres karena komentar negatif, intimidasi daring, atau hoaks yang menyerang pribadi. Pesan dari ayat ini adalah untuk tidak membiarkan hal-hal tersebut membebani hati kita, melainkan menyerahkannya kepada Allah.
Keempat, Allah Beserta Orang yang Bertakwa dan Berbuat Kebaikan
Ayat terakhir menjelaskan bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa (menghindari dosa besar) dan berbuat ihsan (kebaikan yang melampaui kewajiban). Dukungan Allah ini berupa kekuatan, ketenangan, dan pertolongan.
Dalam konteks media sosial, ini relevan dengan bagaimana kita dapat menjadi teladan melalui perilaku santun, membangun komunikasi yang positif, dan menjauhi konflik yang merusak. Dengan begitu, kita menunjukkan ihsan dalam interaksi sehari-hari.
Di tengah gejolak emosi di ruang digital, menjunjung tinggi prinsip-prinsip Al-Quran menjadi teladan yang amat berharga. Dengan menjaga tutur kata yang mulia, bersabar, dan memilih memaafkan, kita tidak hanya menjaga kedamaian batin, tapi juga dapat menjadi agen perdamaian di antara sesama.
Seperti pesan ayat ini, hanya dengan kebergantungan penuh kepada Allah dalam mengendalikan diri, kita mampu menghadapi segala situasi dengan hati yang lapang dan bijaksana. Bukankah itulah panggilan tertinggi yang diemban setiap Muslim? Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Arsyad, Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin
0 Comments