Ticker

6/recent/ticker-posts

Ikhtiar Debur pada Karang


LAUT selalu menyimpan banyak rahasia, biru yang terlihat menenangkan belum tentu dengan apa yang terjadi didalamnya bersama debur yang terus berusaha mengikis kerasnya karang. Begitupun dengan seorang wanita tangguh yang hidup di pesisir Demak, Ibu Masnu’ah. 

Raut wajah yang mungkin terlihat tenang, bisa saja memiliki banyak perasaan yang tersimpan. Emansipasi wanita yang terjadi di desa tempat ibu Masnu’ah lahir membuat perasaannya terus gelisah dan kekhawatiran. Dalam hal itu, perjuangannya dalam menumpas emansipasi bukanlah hal yang mudah layaknya mengedipkan kelopak mata atau membalik telapak tangan. Tentu perlu keringat, air mata, dan selisih paham yang menguras emosi serta pikiran. 

Sekitar tahun 2005, merangkul kaum wanita yang tinggal di pesisir, ibu Masnu’ah hadir untuk memperjuangkan emansipasi wanita dengan gerakan Puspita Bahari di sektor nelayan. Bukan hanya bermodal uang yang paling terpenting tetapi niat dan tekad juga perlu. Adapun hal tersebut kuat dipicu dengan berbagai problematika yang dirasakan didesanya kala itu. Penurunan ekonomi sebab penghasilan nelayan yang tidak stabil berimbas pada beban pikiran dan emosi yang kemudian dilampiaskan kepada wanita. Sehingga tidak sedikit wanita di sana mengalami kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.

Berbeda di era ini, ketika wanita mendirikan usaha atau gerakan dalam artian baik, banyak yang memberikan respon positif. Namun, berbanding terbalik ketika hal tersebut dihadapkan kepada ibu Masnu’ah yang kala itu mendirikan Puspita Bahari. Dibuktikan dengan sulitnya mendapatkan KTP untuk mengubah identitas pekerjaan dan penentangan masyarakat sekitar. Bahkan tidak jarang wanita yang ikut tergabung dalam Puspita Bahari dicap sebagai wanita yang kurang baik. Cibiran itulah yang lambat laun sampai sekitar tahun 2007 mulai berimbas pada berkurangnya keanggotaan Puspita Bahari.

Hari berlalu, langit masih biru begitupun laut. Ombak yang selalu berdebur sedikit demi sedikit mengikis batu karang yang begitu keras. Lantas mengapa sedikit kemunduran harus memadamkan semangat? Maka dari itu, ibu Masnu’ah terus mencari jalan keluar bagaimana Puspita Bahari bisa maju lagi dalam merangkul. Sebab mundurnya sesuatu bukan berarti gagal, namun ada pengalaman untuk dievaluasi supaya itu tidak terjadi lagi dan akan lebih baik kedepannya. 

Layaknya ombak yang pasang surut begitulah kehidupan, tinggal sudut pandang kita yang beranggapan hal itu indah atau sebaliknya. Sekitar tahun 2009, ibu Masnu’ah mulai berusaha bangkit kembali. Berkenalan dengan berbagai organisasi lain dan memperkuat net working, seperti LBH Semarang, LBH Apik, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Strategi inilah yang dilakukan guna memperkuat ekonomi yang tidak hanya berfokus pada penolakan emansipasi.

Melihat dari situasi yang sebelumnya, mayoritas anggota Puspita Bahari yang berhenti dikarenakan larangan dari pihak keluarga tentang anggapan bahwa tergabung dengan gerakan tersebut yang menolak emansipasi hanya membuang-buang waktu saja. Maka dari itu, jika ada penguatan ekonomi pada Puspita Bahari tentu akan menarik minat keluarga nelayan yang semula menolak. Disamping itu pula, harapannya perlahan bisa mengikis kerasnya paham emansipasi wanita yang terjadi. Dibuktikan dengan mereka menyadari bahwa wanita juga bisa bekerja dan berpenghasilan layaknya seperti pria.

Hingga waktu terus berjalan, perlahan Puspita Bahari yang dirintis oleh ibu Masnu’ah mulai bersinar kembali sampai saat ini. Walaupun pasca perselisihan emansipasi sudah selesai tapi laju kegiatan Puspita Bahari masih perlu perjuangan seperti mengarungi laut dengan sampan kecil yang kiranya hanya muat beberapa orang dengan sedikit tambahan barang dan akses jarak yang cukup jauh. Namun begitulah hidup, perjuangan yang keras akan semakin kuat membentuk pribadi yang lebih hebat. Dengan umur 47 tahun ibu Masnu’ah menjadi sosok inspiratif bagi para wanita terutama yang hidup di pesisir pantai. Dia memang bukan dari keluarga kaya atau bahkan berpendidikan tinggi, namun niat dan tekadnya mampu membayar itu semua dengan hasil yang bahkan wanita lain pun bisa merasakan layaknya hidup dengan bebas dari jaring emansipasi yang menyiksa selama ini.

Penulis: Fitra Istianah Turrahman, Mahasiswi Jurusan Akutansi Syariah UIN Walisongo Semarang  

Catatan: Cerita inspiratif ini berhasil meraih Juara 2 Lomba Kepenulisan Srikandi dalam Temu Ilmiah Lintas Nasional XX FoSSEI Nasional di Undip Semarang
Reactions

Post a Comment

0 Comments