Ticker

6/recent/ticker-posts

Reuni Tempat Suci



AKHIRNYA aku turun juga dari bus tua ini. Kini kakiku berhasil menginjak tanah. Aku baru saja melakukan perjalanan panjang dari Semarang ke Surabaya. Delapan jam berada di bus jelas membuat kepalaku pusing. Tubuhku pun sedikit oleng. Aku melangkah, berjalan terhuyung-huyung mencari tempat untuk beristirahat.           

Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Terminal masih ramai meski hari sudah petang. Langit pekat berhias bulan dan bintang. Lampu-lampu kota menyala terang. Penumpang antusias turun dari kendaraan umum. Pedagang sibuk dengan barang dagangannya. Pengamen mondar-mandir sambil memainkan gitar. Rutinitas di kota ini terasa monoton dan membosankan.           

Aku berjalan santai. Langkahku tertatih sambil menggendong tas yang besar. Perjalanan jauh ini memang membuatku lelah. Aku masih mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk beristirahat. Memang sudah saatnya aku membaringkan tubuh demi melepas segala penat.           

Mataku tertegun ketika melihat sebuah tempat yang kurasa tepat untuk beristirahat pada malam ini. Tunggu dulu, sepertinya aku sering menyinggahi tempat seperti ini. Memang benar, itu terjadi lama sekali. Kurang lebih dua-tiga tahun yang lalu. Aku sering menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Dan kini, aku rindu dengan suasana yang pernah kurasakan dulu.           

Aku mencoba mendekatkan diri ke tempat ini. Pintu gerbangnya seakan menyapaku dalam keheningan. Tiba-tiba udara membisikkan kata dingin pada tubuhku. Malam terasa lengang seketika. Sinar rembulan memamcar di sela-sela kerlap-kerlip bintang. Aku masih termangu di depan tempat ini.         

Tanganku meraih pintu gerbang. Aku membukanya dengan hati-hati. Dan akhirnya gerbang pun terbuka. Dari dalam nampak cahaya yang terlihat oleh mata. Langkah kakiku masuk untuk pertama kalinya ke dalam lingkaran cahaya ini. Aku masuk lebih ke dalam lagi.             

Tempat ini cukup luas. Mungkin empat kali dari lapangan bola voli jika digabungkan. Di dalam ruangan itu gelap, sementara di emperannya terang. Dindingnya berwarna putih. Dari segi arsitektur, tempat ini sudah bagus. Ada juga tulisan dan hiasan huruf Arab yang melekat di dinding. Tulisan yang indah dan menawan itu membuat mataku tertarik. Hei, bukankah dulu aku pernah membuat hal semacam itu? gumamku dalam hati. 
          
Aku melepas sepatuku dan mulai menginjakkan kaki ke lantai yang bersih. Setelah itu aku mencoba untuk memasukinya lebih dalam lagi. Aku mengamati sekeliling bangunan ini sebelum akhirnya menempatkan diriku di pojok emperan. Dingin. Tapi tidak masalah. Yang penting aku bisa beristirahat malam ini. Aku sangat lelah. 
          
Langsung saja aku merebahkan tubuhku di lantai yang tak beralas. Kulepaskan tas yang kugendong dan kujadikan sebagai bantal. Aku membaringkan badanku dengan posisi yang sedemikian nyaman. Tubuh ini memang perlu dimanjakan setelah melakukan perjalanan yang begitu meletihkan. 
          
Malam gelap menabur sunyi. Angin berlarian dan berkejar-kejaran menusuk tulang. Tapi tetap kuhiraukan. Aku hanya ingin tidur dan istirahat. Maka kuabaikan semua hal yang mencoba menggangguku. 
           
Kini akhirnya aku tertidur, merebahkan tubuh dan terpekur. Akhrinya aku bisa juga beristirahat, melepas segala penat.  Meskipun itu berada di sebuah tempat yang tak kukenal. Di sebuah daerah yang membentang jauh. Di sebuah bangunan yang membuatku terlelap dalam. 

***
          
“Mas, bangun, Mas,” seseorang sedang menepuk bahuku. Aku menguap dengan bebasnya. Aku menggerak-gerakkan tubuhku. Tangan kuluruskan ke atas. Mataku mengerjap-ngerjap sayu.
          
“Mas, bangun, Mas. Sebentar lagi mau subuh,” suara itu kembali terngiang dalam ketidaksadaranku. Orang tadi menghuyung-huyungkan tubuhku. Sulit rasanya untuk bangkit dari pembaringan. Sisa perjalanan semalam membuat tubuhku masih lelah. Kurasa waktuku untuk istirahat kurang lama. 
          
Tapi orang itu masih mendorong dan menarik badanku. Aku mengucek mata. Aku mencoba mengendalikan tubuhku. Ingin menguasai dengan penuh. Tapi serasa beban seratus kilogram terduduk di atasnya. Berat. 
          
“Mas, ayo bangun… sebentar lagi adzan akan berkumandang,” untuk ketiga kalinya suara itu mengganguku. Kali ini orang tadi menarik tanganku. Aku pun terduduk. 
          
Aku membuka mataku. Dan… aku tertegun ketika melihat orang yang berada di hadapanku. Orang itu memakai sarung, baju koko, dan peci dengan rapi. Sementara sajadah terselempang di bahunya dan butiran tasbih tergenggam di tangannya. Orang ini tampak kharismatik seperti kiaiku dulu. Ya, aku dulu memang pernah belajar di pesantren. 
          
Tapi ada yang aneh. Kurasa wajahnya tidak asing bagiku. Sepertinya aku kenal dengan orang ini. Aku mulai berpikir dan mengingat-ingat.  
          
“Ayo, Mas. Kita salat subuh dulu,” orang itu tersenyum lembut kepadaku. Aku tercengang ketika mendengar suaranya. Sepertinya aku mengenal dengan jelas suara itu. Dan wajah di hadapanku ini pun mengingatkanku pada seseorang. 
          
“Apa kau bernama Amir?” tanyaku menyelidik. 
          
“Wah… Mas kok bisa tahu nama saya,” dia tersenyum. 
          
“Wah ternyata kau di sini ya, Mir. Masa kau tidak kenal dengan aku? Aku temanmu waktu nyantri di Malang dulu. Ilham, masih ingat, kan?” jelasku padanya. 
          
“O… Ilham anak Semarang, ya. Aku masih ingat. Bagaimana kabarmu, Sob?” Amir mengulurkan tangannya. 
          
“Alhamdulilah, Mir. Allah masih memberikanku kesehatan. Kau sendiri bagaimana?” kujabat tangannya.
          
“Alhamdulillah, aku sehat-sehat saja,” kami pun saling berpelukan layaknya keluarga yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu. 
          
Ternyata seseorang yang membangunkanku tadi adalah Amir, temanku waktu nyantri di Pondok Pesantren Al- Hikam Malang. Aku sendiri tidak menyangka kalau akan bertemu dengannya di tempat seperti ini. Kami pun berbicara banyak hal sambil menunggu waktu subuh tiba. 
            
Amir adalah takmir di masjid ini. Sepulangnya menimba ilmu agama di Malang, dia sempat bekerja menjadi pelayan di restoran. Tapi dia bilang tidak cocok. Dan akhirnya memilih menjadi takmir di masjid ini. Kuakui, dulu waktu masih di pesantren dia memang seorang yang rajin bersih-bersih. Selain itu, dia juga rajin dalam beribadah. Maka wajar saja jika dia lebih memilih menjadi takmir masjid. Katanya, takmir merupakan pekerjaan yang mulia. Dia senang membersihkan masjid yang setiap hari digunakan ibadah dan kegiatan keagamaan lain. Dia juga bilang pahalanya nanti akan berlimpah dan tidak pernah putus. Memang benar, aku juga pernah mendengar itu dari kiaiku.

“Kamu kok bisa sampai sini bagaimana ceritanya, Ham?” tanyanya. 
          
“Wah, itu,” aku menghela napas, merasakan udara fajar yang masih segar. “Kemarin kan aku dari rumah mau ke Madura, ke rumah pamanku. Di sana ada acara. Tapi  busnya tadi malam baru nyampe Surabaya. Ya tadi malam istirahat di sekitar sini dulu. Hari ini lanjut perjalanan lagi,” aku menguap. Aku masih merasakan kantuk yang luar biasa. 
          
“O, gitu. Yaudah ini sebentar lagi mau subuh, Ham. Aku ada jadwal adzan. Nanti kita sambung lagi, ya,” katanya. 
          
“Oh, oke kalau gitu. Nanti kita lanjut lagi. Selesaikan tugasmu dengan baik,” aku tersenyum mengejeknya. 
          
“Hahaha, pasti lah. Eh tapi ini imamnya lagi sakit, Ham. Kamu yang gantiin ya,” dia seperti orang yang tidak berdosa langsung menyuruhku menjadi imam salat subuh. 
          
“Apa kau bilang?” nada suaraku meninggi. Aku terkejut, “Mengapa kau menunjukku menjadi imam, sementara aku hanya orang asing dan tidak kenal dengan tempat ini. Aku di sini kan hanya untuk istirahat saja.”  
          
“Sudahlah, Ham. Aku kenal dekat denganmu. Dulu waktu di pesantren kau kan juga sering menjadi imam salat. Dan nanti aku akan bicara sama pengurus masjid yang lainnya mengenai masalah ini,” ujarnya santai.  
          
Setelah melakukan perdebatan panjang-lebar dan pertimbangan banyak hal, aku akhirnya mengalah. Baiklah, aku akan menjadi imam salat subuh di tempat yang asing dan tidak kukenal ini. 
          
Seusai mengimami salat subuh, aku berencana melanjutkan perjalanan ke Madura. Namun sebelumnya aku pemitan terlebih dahulu dengan Amir dan pengurus masjid yang lainnya. Aku pun bersyukur bisa di sini. Berawal dari ketidaksengajaanku mencari tempat untuk istirahat, aku akhirnya dipertemukan dengan sahabat lamaku di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang. 
          
Bukan hanya itu saja, akan tetapi ada hal lain lagi. Bahwa aku telah ditawari oleh pengurus masjid untuk menjadi pengurus dan juga imam di masjid ini untuk beberapa tahun ke depan. Dalam hatiku aku ingin sekali menerima tawaran itu. Merupakan suatu hal yang mulia jika menjadi pengurus dan imam masjid. Dengan ini, aku bisa lebih dekat lagi kepada Allah. 
            
Tapi sebelumnya aku harus membicarakan masalah ini dengan keluarga dan beberapa pihak lain. Namun di balik itu semua, ada hal yang lebih penting. Aku harus segera melanjutkan perjalananku ke Madura. Ada sebuah acara besar yang harus kuhadairi. Dan sebentar lagi bus tua akan datang. Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang. 

(A.M)
Reactions

Post a Comment

0 Comments